Waktu Tak Pernah Kembali

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang [Hr. Bukhori No.5933]

Sebuah Renungan

Usahakan Waktu Kita Selalu Istiqomah Dijalan Alloh

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tempat cemeti di surga itu lebih baik dari dunia dan seisinya, sungguh berpagi-pagi atau sore hari di jalan Allah itu lebih baik daripada dunia seisinya." [Hr. Bukhori No.5936]

Sebuah Renungan

Kau Isi Apa Waktumu?

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membuat suatu garis lalu beliau bersabda: "Ini adalah cita-citanya, dan ini adalah ajalnya, ketika seseorang seperti itu (dalam cita-citanya), maka datanglah garis yang lebih dekat (yaitu ajalnya)." [Hr.Bukhori No.5939

Ajalmu Itu Dekat

Join The Community

Minggu, 24 Juli 2011

Kekuatan itu dari Allah

Kesadaran akan keterlibatan Allah bukan suatu alasan yang menyebabkan kita malah malas, justru sadar akan kekuatan dari Allah. Tidak berusaha karena hanya berharap pada takdir Allah. Justru seharusnya hal ini menjadi suatu dorongan kuat bagi kita. Inilah yang akan menjadi motivasi kita.
Ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil dari kesadaran kita akan keterlibatan Allah, yaitu:

Bagaimana Kekuatan Didapat

Siapa yang bisa melawan takdir Allah? Jika kita ditakdirkan berhasil siapa yang bisa mencegahnya? Berlaku juga untuk sebaliknya jika Allah tidak mengijinkan, maka siapa pun tidak ada yang bisa memaksakannya. Sehingga tidak ada pilihan bagi kita kecuali untuk berusaha.
Kesadaran bahwa kekuatan itu dari Allah akan memberikan kekuatan juga pada diri kita. Karena kita yakin bahwa apa pun yang kita lakukan, tidak akan ada yang bisa menghalangi kita jika Allah berkenan. Sehebat apa pun manusia, tidak akan ada yang sanggup menghentikan yang mendapatkan pertolongan Allah.

Sabar Juga Sumber Kekuatan

Orang yang meyakini akan takdir Allah, dia akan selalu sabar setiap musibah menimpanya, karena semuanya dari Allah. Dia akan menyambut musibah itu dengan tegar, setegar gunung atau setegar karang diterjang ombak laut. Tanpa goyah sedikit pun.
Sungguh indah apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib r.a.: “Hai bapak Fulan, sesungguhnya jika engkau bersabar, engkau telah melewati takdirmu, dan engkau mendapatkan pahala. Tetapi sekiranya engkau bersedih hati, sesungguhnya takdir tetap saja berlaku, dan engkau mendapatkan dosa.”
Sabar tetap akan melewati takdir, tidak sabar juga sama, maka mending kita pilih sabar. Mungkin kita tetap pada sebuah takdir yang tidak kita inginkan (menurut pendapat kita) namun kita akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika kita tidak sabar, tidak akan menolong kita, dan kita mendapatkan dosa. Jadi bagi orang yang sadar akan keterlibatan Allah, dia akan sabar dan Allah akan memberikan kekuatan kepada orang yang sabar.

Ridha dan Qana’ah

Kita akan ridha terhadap apa yang diberikan Allah dan qanaah akan rezeki yang Dia berikan kepada kita. Sehingga kalau kita sudah berusaha tetapi takdir bicara lain, kita akan ridha dengan kegagalan yang dia alami, karena semua dari Allah. Tidak ada alasan untuk tidak ridha.
Pengaruh dari sikap ini dia akan bersungguh-sungguh mencari rezeki dan dengan cara yang benar. Dia tidak akan mengatakan: “Sudah capek-capek, tetap saja tidak hasil.” Dia akan berusaha sebaik mungkin dan ridha apa pun hasilnya. Bukan sikap seperti ini mencerminkan pribadi yang memiliki kekuatan mental yang luar biasa?

Menerima Apa Adanya

Orang yang yakin dengan takdir, dia akan menerima apa yang diberikan Allah kepadanya. Sikap ini akan melahirkan kekuatan jiwa, tidak akan kecewa, sedih, putus asa, dan sikap-sikap cengeng lainnya. Dia yakin apa yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik bagi dia.

Memiliki Harga Diri

Orang yang yakin akan takdir Allah akan memiliki harga diri karena yakin apa yang dia miliki bukan berasal dari manusia tetapi dari Allah semata. Jika pun ada peran manusia, itu hanya sebagai perantara saja. Harga diri ini akan menjadi sumber kekuatan luar biasa, sehingga dia bisa mencurahkan segenap potensinya.
Bagi orang yang memiliki izzah (harga diri) tentuk akan bekerja keras untuk menjaga izzahnya. Dia tidak akan melemah diri atau juga merendahkan diri di hadapaman manusia, namun tidak juga sombong. dia aka berusaha untuk tetap mandiri, tidak meminta-minta, dan bekerja keras.

Berjiwa Tenang dan Damai

Orang yang yakin akan takdir, akan yakin pula bahwa segala musibah tidak akan membuatnya takut dan ciut. Dia tenang terhadap apapun yang akan dan telah terjadi karena semua kehendak Allah. Dia tidak akan ragu melakukan apapun karena hasil adalah keputusan Allah setelah dia berusaha. Dia tidak akan menyesali masa lalu, dia yakin dengan masa kini, dan berani menghadapi hari esok.

Berorientasi ke Depan dan Doing The Best

Orang yang yakin akan kekuatan Allah, sabar, ridha, qana’ah, menerima apa adanya, memiliki harga diri, tenang, dan damai terhindar dari penyesalan masa lalu, berani menghadapi realitas, bebas dari rasa pesimis, dia tidak mendapatkan jalan lain kecuali berorientasi ke depan menuju yang lebih baik, bertumbuh, dan melakukan pekerjaan sebaik mungkin.
Nabi berkata: Wahai Aba Musa, maukah aku tunjukkan ucapan dari perbendaharaan surga? Aku menjawab, “Ya.” Nabi berkata, “La haula wala Quwwata illa billah.” (Tiada daya upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad)
Tiada kekuatan kecuali dari Allah.


Apa hukuman untuk wanita lesbi?

Apa hukuman untuk wanita yang melakukan lesbi?
Jawab:
Lesbi (arab: sihaq) adalah perbuatan yang haram. Para ulama menggolongkannya sebagai dosa besar. (lihat az-Zawajir, dosa no. 362). Para ualam sepakat bahwa pelaku lesbi tidak dihukum had. Karena lesbi bukan zina. Hukuman bagi pelaku lesbi adalah ta'zir, dimana pemerintah berhak menentukan hukuman yang paling tepat, sehingga bisa memberikan efek jera bagi pelaku perbuatan haram ini.
Disebutkan dalam Ensiklopedi Fiqh: Ulama sepakat bahwa tidak ada hukuman had untuk pelaku lesbi. Karena lesbi bukan zina. Namun wajib dihukum ta'zir (ditentukan pemerintah), karena perbuatan ini termasuk maksiat. (Mausu'ah Fiqhiyah, 24: 252)
Ibn Qudamah mengatakan: “Jika ada dua wanita yang saling menempelkan badannya maka keduanya berzina dan dilaknat. Berdasarkan riwayat dari nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Apabila ada wanita yang menggagahi wanita maka keduanya berzina.” dan tidak ada hukuman had untuk pelakunya, karena lesbi tidak mengandung jima (memasukkan kemaluan ke kemaluan). Sehingga disamakan dengan cecumbuan di selain kemaluan. Namun keduanya wajib dihukum ta'zir.” (al-Mughni, 9/59)
Hanya saja, hadis yang disebutkan Ibn Qudamah di atas adalah hadis lemah. Sebagaimana dijelaskan Syekh al-Albani dalam Dhaif al-Jami'. Karena itu, lesbi tidak disamakan dengan zina. As-Sarkhasi mengatakan: “Andaikan hadis itu shahih, tentu maknanya adalah bahwa kedua melakukan dosa sebagai orang yang berbuat zina, namun tidak dihukum sebagaimana orang yang melakukan zina.” (al-Mabsuth, 9: 78)

Allahu a'lam..

Disadur dari fatwa Islam: tanya-jawab, oleh Syekh Muhammad bin Shaleh al-Munajid.


Sms maaf-maafan menjelang ramadhan

Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Benarkah isi sms maaf-maafan yang marak tersebar akhir-akhir ini? Isinya:
Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.
Do’a Malaikat Jibril adalah: “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Abu yahya (tegal**@***.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah.
Hampir semua orang yang menuliskan hadis ini tidak ada yang menyebutkan periwayat hadisnya. Setelah dicari, hadis ini pun tidak ada di kitab-kitab hadis. Setelah berusaha mencari-cari lagi, saya menemukan ada orang yang menuliskan hadis ini kemudian menyebutkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, 3:192 dan Ahmad, 2:246, 254. Ternyata, pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, 3:192, juga pada kitab Musnad Imam Ahmad, 2:246 dan 2:254 ditemukan hadis berikut:
عن أبي هريرة  أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له  يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين  قال الأعظمي : إسناده جيد
“Dari Abu Hurairah; Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam naik mimbar lalu bersabda, ‘Amin … amin … amin.’ Para sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?’ Kemudian, beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril berkata kepadaku, ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa mendapatkan ampunan,’ maka kukatakan, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua),’ maka aku berkata, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bersalawat ketika disebut namamu,’ maka kukatakan, ‘Amin.”” (Al-A’zhami berkata, “Sanad hadis ini jayyid.”)
Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib wa At-Tarhib, 2:114, 2:406, 2:407, dan 3:295; juga oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Madzhab, 4:1682. Dinilai hasanoleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 8:142; juga oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Qaulul Badi‘, no. 212; juga oleh Al-Albani di Shahih At-Targhib, no. 1679.
Dari sini, jelaslah bahwa kedua hadis di atas adalah dua hadis yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat hadis pertama. Atau mungkin, bisa jadi pembuat hadis tersebut mendengar hadis kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga makna hadis pun berubah.
Bisa jadi juga, pembuat hadis ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadan, lalu sengaja menyelewengkan hadis kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut. Yang jelas, hadis yang tersebat luas itu tidak ada asal-usulnya. Kita pun tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu. Sebenarnya, itu bukan hadis dan tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.
Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه
Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apa pun, maka hari ini ia wajib meminta agar perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari saat tidak ada ada dinar dan dirham, karena jika orang tersebut memiliki amal saleh, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun, jika ia tidak memiliki amal saleh maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zalimi.” (H.r. Bukhari, no. 2449)
Kata “اليوم” (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja, dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput.
Dari hadis ini jelaslah bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika kita berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui maka itu tidak pernah diajarkan oleh Islam.
Jika ada yang berkata, “Manusia ‘kan tempat salah dan dosa. Mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari.”
Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta-merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal, mereka adalah orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak disengaja atau tidak disadari itu tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,
إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
Sesungguhnya, Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, karena lupa, atau karena dipaksa.” (H.r. Ibnu Majah, no. 1675; Al-Baihaqi, 7:356; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, 4:4; dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
Dengan demikian, orang yang “meminta maaf tanpa sebab” kepada semua orang bisa terjerumus pada sikap ghuluw (berlebihan) dalam beragama. Begitu pula, mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.
Hal lain yang menjadi sisi negatif tradisi semacam ini adalah menunda permintaan maaf terhadap kesalahan yang dilakukan kepada orang lain hingga bulan Ramadan tiba. Beberapa orang, ketika melakukan kesalahan kepada orang lain, tidak langsung minta maaf dan sengaja ditunda sampai momen Ramadan tiba, meskipun harus menunggu selama 11 bulan.
Meski demikian, bagi orang yang memiliki kesalahan bertepatan dengan Sya’ban atau Ramadan, tidak ada larangan memanfaatkan waktu menjelang Ramadan untuk meminta maaf pada bulan ini, kepada orang yang pernah dizaliminya tersebut. Asalkan, ini tidak dijadikan kebiasaan, sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun dan dilakukan tanpa sebab.
Wallahu a’lam.


Siapa bilang dosamu tidak terampuni??

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta’ala berfirman, 'Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.'” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya).

Hadits yang agung ini menyimpan banyak pelajaran berharga, di antaranya:

1. Tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah Ta’ala. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata mengomentari hal ini, “Ini adalah syarat yang berat untuk bisa mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalah harus bersih dari kesyirikan, banyak maupun sedikit. Sementara tidak ada yang bisa selamat/ bersih darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah Ta’ala. Itulah hati yang selamat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala (yang artinya), 'Pada hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.'” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 53-54)

2. Keutamaan ini hanya akan bisa diperoleh bagi orang yang bersih tauhidnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “…Seandainya ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir seisi bumi, maka Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu pula. Namun, hal itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya. Karena, sesungguhnya tauhid yang murni itu yang tidak tercemari oleh kesyirikan apapun, maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena, ketauhidan semacam itu telah memadukan antara kecintaan kepada Allah, pemuliaan dan pengagungan kepada-Nya, serta rasa takut dan harap kepada-Nya semata, yang hal itu menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi bumi. Najis yang datang sekadar menodai, sedangkan faktor yang menolaknya sangat kuat.” (Dinukil dari Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 54-55).

3. Hadits ini mengandung keterangan tentang makna la ilaha illallah yang bisa lebih berat timbangannya daripada semua makhluk dan semua dosa. Maknanya adalah meninggalkan syirik dalam jumlah banyak maupun sedikit. Hal itu pasti membuahkan ketauhidan yang sempurna. Tidak mungkin bisa bersih dari syirik kecuali bagi orang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya, serta mewujudkan konsekuensi dari kalimat ikhlas (syahadat) yang berupa ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, rasa cinta, menerima, tunduk patuh dan lain sebagainya menjadi konsekuensi kalimat yang agung itu (lihat Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal. 22). Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengucapkannya -la ilaha illallah- dengan penuh keikhlasan dan kejujuran, maka dia tidak akan terus-menerus tenggelam di dalam kemaksiatan-kemaksiatan. Karena keimanan dan keikhlasannya yang sempurna menghalangi dirinya dari terus-menerus tenggelam dalam maksiat. Oleh sebab itu, dia akan bisa masuk surga sejak awal bersama dengan rombongan orang-orang yang langsung masuk surga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21).

4. Hadits ini menunjukkan bahwa tauhid tidak hanya cukup di lisan. Namun, tauhid juga menuntut seorang hamba untuk menunaikan kewajiban, serta meninggalkan kemaksiatan. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mempersaksikannya -kalimat tauhid- namun dia mencemarinya dengan perbuatan dosa dan kemaksiatan, atau dia sekadar mengucapkannya dengan lisan sementara hati atau amalannya berbuat syirik seperti halnya orang-orang munafik, maka orang semacam ini ucapan syahadatnya tidak bermanfaat. Akan tetapi yang semestinya dia lakukan adalah mengucapkannya kemudian meyakininya dengan kuat, melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan serta mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 20). Beliau rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang dilarang, maka itu berarti dia telah berani menawarkan dirinya untuk menerima hukuman Allah Ta’ala meskipun dia mengucapkan kalimat ini dan meyakininya. Apabila dia melakukan sesuatu yang membatalkan keislamannya, maka berubahlah dia menjadi orang yang murtad dan kafir. Syahadat ini tidak lagi bermanfaat untuknya. Oleh sebab itu, kalimat ini harus diwujudkan dalam kenyataan dan mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya, kalau tidak demikian, maka dia berada dalam bahaya besar seandainya dia tidak kunjung bertaubat juga.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 26). Beliau juga mengatakan, “Hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya para pelaku maksiat itu sangat berresiko dijatuhi ancaman siksa dan mereka akan masuk ke neraka, lalu mereka akan dikeluarkan darinya dengan syafa’at para nabi dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan mereka telah melemahkan tauhid mereka dan mencemarinya dengan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 21).

5. Hadits ini menunjukkan betapa besar pahala amalan tauhid (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

6. Hadits ini menunjukkan betapa luasnya kedermawanan dan kasih sayang Allah Ta’ala (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

7. Hadits ini mengandung bantahan bagi orang-orang Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

8. Hadits ini juga mengandung bantahan bagi kaum Mu’tazilah yang memiliki keyakinan bahwa pelaku dosa besar itu berada di antara dua status di alam dunia ini, antara iman dan kafir. Manzilah baina manzilatain dalam istilah mereka, dan pelaku dosa besar menurut mereka kelak akan kekal di neraka (lihat Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55).

9. Allah Ta’ala berkata-kata, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan diri-Nya (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 43).

10. Meninggal di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa, dalam hal ini terdapat perincian sebagai berikut: [1] Orang yang mati dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya, maka dia pasti masuk neraka. [2] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya, maka dia pasti masuk surga. [3] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukannya justru lebih berat dalam timbangan, maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44).

11. Hadits ini mengandung motivasi (targhib) dan peringatan (tarhib). Ini merupakan motivasi agar orang mau berjuang keras membersihkan tauhidnya dari kotoran syirik dan kemaksiatan, karena Allah menjanjikan ampunan yang demikian besar bagi orang yang murni tauhidnya. Dan ini sekaligus menjadi peringatan bagi orang-orang yang selama ini tenggelam dalam dosa dan kemaksiatan agar waspada dan takut kalau ternyata di akhir hidupnya mereka tidak tergolong orang yang bersih tauhidnya. Karena kotornya tauhid akan menyebabkan dosa-dosa mereka tidak pasti diampuni oleh Allah, padahal kita semua mengetahui bahwa ‘Inna bathsya Rabbika la syadiid’ Sesungguhnya siksaan Rabb-mu amatlah keras… Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Seandainya Allah mau menyiksa manusia -di dunia- sebagai hukuman atas dosa yang mereka perbuat niscaya tidak akan Allah sisakan di atas muka bumi ini seekor binatang melatapun. Akan tetapi Allah menunda hukuman itu untuk mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Maka apabila telah datang saatnya sesungguhnya Allah Maha melihat semua hamba-Nya.” (QS. Fathir: 45). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya adalah apabila Allah menyiksa mereka sebagai hukuman atas semua dosa yang mereka perbuat, maka Allah tentu akan menghancurkan semua penduduk bumi dan segala binatang dan rezeki yang mereka miliki.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/362] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).

12. Hadits di atas juga menunjukkan wajibnya mempelajari syirik -dengan segala macam bentuk dan jenisnya- untuk dijauhi, wajibnya menyadari bahayanya yang sangat besar serta memperingatkan umat dari segala sarana yang menjerumuskan ke dalamnya.

13. Hadits di atas juga menunjukkan pentingnya tazkiyatun nafs/ penyucian jiwa. Karena sesungguhnya orang yang bisa meraih keutamaan yang berupa ampunan yang melimpah ruah itu hanyalah orang yang bersih tauhidnya. Sementara hal itu tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengenali maksiat dan menjauhinya serta bertaubat darinya.

14. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa dosa yang paling harus ditakuti dan dijauhi oleh manusia adalah dosa kesyirikan dan kekafiran. Karena dosa itulah yang menghalangi mereka dari memperoleh ampunan Allah Ta’ala. Oleh sebab itulah dalam memperbaiki kondisi masyarakat yang telah mengalami kerusakan dalam berbagai sisi kehidupan mereka maka seorang dai harus memprioritaskan pembenahan akidah dan pemurnian tauhid terlebih dulu, karena ini adalah asas penyucian jiwa dan kunci keselamatan di dunia dan di akhirat.

15. Hadits di atas menunjukkan batilnya semua sesembahan selain Allah Ta’ala. Sehingga tidak ada sosok yang layak untuk dijadikan tempat bergantungnya hati, tumpuan rasa cinta, takut, dan harap serta tawakal kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

16. Hadits di atas juga menunjukkan bahayanya riya’, karena riya’ adalah syirik yang sangat samar, sementara syirik menyebabkan pelakunya terhalang dari mendapatkan ampunan dosa.

17. Hadits di atas menunjukkan bahwa pengampunan dosa adalah hak Allah Ta’ala, bukan hak Nabi ataupun ulama, apalagi pendeta atau pastur gereja!

18. Hadits di atas menunjukkan sebesar apapun dosa selama masih berada di bawah tingkatan syirik, maka masih mungkin untuk diampuni oleh Allah Ta’ala dan masih ada kesempatan masuk surga walaupun pelakunya –jika tidak bertaubat- harus mampir sekian lama di dalam neraka, semoga Allah menyelamatkan kita darinya. Dosa syirik pun, apabila pelakunya bertaubat, maka akan diampuni oleh Allah Ta’ala.

Inilah sebagian pelajaran yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan ini, semoga bermanfaat dan menambah rasa takut kita kepada-Nya. Segala puji hanya milik Allah, salawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Rasulullah.

Yogyakarta, 9 Dzulqa’dah 1430 H
Yang sangat membutuhkan ampunan Rabb-nya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.PengusahaMuslim.com


Ternyata al-qur'an telah mengatur masalah ekonomi

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (Q.S. Al-Maidah (5): 3)

Di dalam ayat ini Allah telah menjelaskan bahwa Dia telah menyempurnakan agama kita untuk kita. Maka, agama ini tidak akan kurang selama-lamanya, dan tidak butuh tambahan selama-lamanya. Ayat yang mulia ini merupakan nash (teks) yang nyata, bahwa agama Islam tidaklah meninggalkan sesuatupun yang dibutuhkan oleh manusia di dunia dan di akhirat, kecuali agama ini telah menerangkannya dan telah menjelaskannya, apa saja perkara itu. Di antara masalah besar yang dijelaskan oleh Islam dan merupakan topik pembicaraan dunia adalah masalah ekonomi. Berikut ini kami hadirkan sebuah tulisan menarik berjudul Alquran Mengatur Masalah Ekonomi yang diterjemahkan dari salah satu sub tema sebuah buku berjudul اَلإِسْلاَمُ دِيْنٌ كَامِلٌ (Islam Agama yang Sempurna) karya seorang ulama besar Islam, Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syanqithi. Semoga bermanfaat. (Redaksi PengusahaMuslim.com)
______________________


Alquran Mengatur Masalah Ekonomi
Alquran telah menjelaskan prinsip-prinsip ekonomi yang semua cabang-cabang kembali kepadanya. Hal itu karena masalah-masalah ekonomi kembali kepada dua prinsip:
Pertama: Kecerdasan di dalam mencari harta.
Kedua: Kecerdasan di dalam membelanjakan pada tempat-tempatnya.

[Jalan Mencari Harta*]

Perhatikanlah bagaimana di dalam kitab-Nya, Allah membuka jalan-jalan untuk mencari harta, dengan cara-cara yang sesuai dengan kehormatan dan agama. Allah telah menerangi jalan di dalam hal tersebut. Dia berfirman,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah/62: 10).
Allah juga berfirman,
وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي اْلأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ
“Ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Q.S. Al-Muzammil/73: 20).
Allah juga berfirman,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabb-mu.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 198).
Allah juga berfirman,
إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’/4: 29).
Allah juga berfirman,
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 275).
Allah juga berfirman,
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلاَلاً طَيِّبًا
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik.” (Q.S. Al-Anfaal/8: 69).
Dan (ayat-ayat) selain itu.

[Metode Membelanjakan Harta]

Dan perhatikanlah, bagaimana Allah memerintahkan sikap hemat di dalam membelanjakan harta,

وَلاَتَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَتَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.” (Q.S. Al-Isra’/17: 29).
وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. Al-Furqan/25: 67).
وَيَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’" (Q.S. Al-Baqarah/2: 219).
Dan perhatikanlah, bagaimana Allah melarang membelanjakan harta pada perkara yang tidak halal membelanjakan harta padanya,
فَسَيُنفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ
“Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan.” (Q.S. Al-Anfaal/8: 36).

===
Sumber: Kitab اَلإِسْلاَمُ دِيْنٌ كَامِلٌ (Islam Agama yang Sempurna) karya Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syanqithi (1305 H – 1393 H) yang diterbitkan oleh Riyaasah Idaaratil Buhuuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, Riyadh, Kerajaan ‘Arab Saudi; Cet. 2; th. 1423 H / 2002 M.

*Penambahan sub judul oleh redaksi PengusahaMuslim.com
Penerjemah: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari


Broadcast RSS feed situs/blog perusahaan Anda secara otomatis ke Facebook dan Twitter via Dlvr.it

Dalam tulisan saya kali ini, saya ingin mengenalkan para pembaca semua dengan layanan berbasis web yang gratis tapi keren; Dlvr.it. Fungsi utama Dlvr.it adalah untuk mem-publish rss feed situs atau blog Anda ke jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, LinkedIn, Google Buzz, MySpace, Status.Net, dan Tumblr. Fungsi utama yang ditawarkan oleh Dlvr.it ini sebenarnya sama persis dengan apa yang sudah ditawarkan oleh twitterfeed. Tapi bila kita lihat lebih jauh ke dalam, ternyata dlvr.it punya banyak kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh pendahulunya. Apa saja itu? Let's see ...

1.  Update feed secara otomatis

Fitur ini adalah fitur utama dlvr.it. Dengan fitur ini, kita dapat menyiarkan rss feed dari situs atau blog perusahaan kita secara otomatis ke jejaring sosial pilihan kita. Hebatnya, dlvr.it mengizinkan penggunanya untuk mem-broadcast berapapun feed yang dia mau. No limitation!

2. Lihat statistik

Fitur ini memungkinkan kita untuk melihat performa link-link yang diupdate secara otomatis oleh dlvr.it ke situs-situs jejaring sosial pilihan kita. Parameter yang dijadikan ukuran statistik adalah jumlah klik yang bisa ditampilkan dalam tiga periode waktu yakni "24 jam terakhir", "7 hari terakhir", dan "satu bulan terakhir". Fitur ini ada di panel "Stats" > "Direct".

3. Built in URL shortener

Bagi yang akrab dengan bit.ly, Anda pasti sudah tahu dengan istilah url shortener. Kalau di-indonesiakan, artinya mungkin akan menjadi pemendek url alias penyingkat alamat web. Di beberapa situs jejaring sosial tertentu, seperti twitter, jumlah karakter adalah sesuatu yang sangat penting. Batas 140 karakter per update menghendaki seorang pengguna untuk selalu bersinggungan dengan layanan seperti bit.ly dan sejenisnya. Nah dengan adanya url shortener yang disediakan oleh dlvr.it, pengguna dlvr.it tidak perlu repot lagi untuk mengatur update statusnya agar selalu pas dengan syarat yang sudah diberikan oleh twitter terkait jumlah karakter.

4. Widget atraktif

Jika sudah merasa pas dengan fitur-fitur yang ada di dlvr.it, maka saatnya untuk menempelkan widget yang disediakan oleh dlvr.it ke situs atau blog milik perusahaan Anda. Widget dlvr.it tidak hanya memberikan update terbaru dari rss feed yang Anda broadcast, tapi juga statistik - berdasarkan jumlah klik - untuk link feed tersebut di jejaring sosial. Dengan widget ini, Anda akan mengetahui tulisan/post Anda yang diklik paling banyak di twitter. Keren bukan?

Oke, itu dia 4 fitur keren yang ada di dlvr.it. Nah sekarang saya akan tunjukkan cara menggunakan layanan dengan slogan "You publish. We deliver." ini.

1. Sign up dulu

Untuk mendaftar di dlvr.it, Anda harus memasukkan alamat email plus password. Anda harus ingat atau mencatat user dan password tersebut karena Anda akan menggunakannya lagi. Jangan sampai hilang.

2. Masukkan url dari rss feed situs atau blog Anda.

Untuk pengusahamuslim.com, url rss feed-nya adalah http://www.pengusahamuslim.com/rss.

3. Pilih jejaring sosial yang akan jadi tujuan siaran kita

Dlvr.it menyediakan 7 situs sekaligus sebagai tempat Anda untuk mem-broadcast feed yang sudah Anda pilih: Facebook, Twitter, LinkedIn, Google Buzz, MySpace, Status.Net, dan Tumblr. Apapun situs jejaring sosial yang Anda pilih, pastikan bahwa Anda memang sudah terdaftar dalam jejaring sosial tersebut.

4. Beri hak akses untuk dlvr.it

Ketika Anda hendak mem-broadcast feed Anda ke jejaring sosial, mau tidak mau Anda harus mengizinkan dlvr.it untuk mengakses informasi terkait profil Anda atau yang sejenisnya. Jika Anda tidak mau mengizinkan, maka dlvr.it tidak mungkin bisa beraksi untuk Anda.

5. Oke! Selesai.

Nah, sekarang Anda sudah selesai. Mudah dan sederhana bukan? Dengan bantuan dlvr.it, saya harap para pembaca pengusahamuslim.com sudah tidak perlu lagi capek-capek melakukan prosedur copy-paste secara manual kalau hanya untuk memindahkan link-link menarik dari situs/blog perusahaan Anda ke jejaring-jejaring sosial pilihan Anda. Duh, hidup ini memang untuk disyukuri ....... kalau ada yang mudah, kenapa pilih yang susah. Betul tidak?

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Rukun Nikah

Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.


Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.


Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)


Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.


Rukun nikah adalah sebagai berikut:


1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.


2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).


3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”


Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا


“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)


Dan firman-Nya:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ


“Janganlah kalian menikahi (tankihu) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)


Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka dan lafadz inkah yaitu ankahtuka. Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38- 44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim


Pensyariatan Nikah dan Maslahatnya

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim


Pensyariatan nikah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).


Dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ


“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi.” (An-Nisa`: 3)
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ


“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (An-Nur: 32)


Dari As-Sunnah, sangat banyak kita dapatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun taqrir (persetujuan). Di antaranya yang bisa kita sebutkan adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para pemuda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...


“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu)


Adapun dari ijma’ maka telah dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam kitabnya Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al- Kitabu was-Sunnah wal Ijma’.


Penetapan syariat banyak memberikan hasungan untuk melangsungkan pernikahan. Karena dalam pernikahan banyak diperoleh maslahat yang agung yang kembalinya pada pasangan suami-istri, anak-anak yang dilahirkan, masyarakat dan agama. Begitu pula dengan pernikahan akan tertolak sekian banyak mafsadat.


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda memberi hasungan:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ


“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu 'anhu, dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash- Shahihul Musnad, 2/189)


Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tidak ketinggalan dalam memberi hasungan untuk menikah. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah berkata kepada Sa’id bin Jubair rahimahullahu: “Apakah engkau telah menikah?” “Belum,” jawab Sa’id. Ibnu ‘Abbas berkata, “Menikahlah! Karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5069)


Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Seandainya tidak tersisa umurku kecuali hanya semalam, niscaya aku menyenangi bila aku memiliki seorang istri pada malam tersebut.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4/128)


Di antara faedah dan manfaat yang besar dari pernikahan yang dapat kita sebutkan adalah sebagai berikut:


1. Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat manusia.


2. Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi pendahulunya.


3. Memperbanyak umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan alam ini.


4. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada furu’ (anak keturunan seseorang).


5. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah dan rahmah di antara kalian. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir.” (Ar-Rum: 21)


Cinta dan kasih sayang di antara suami-istri ini tidak dapat disamai dengan cinta dan kasih sayang di antara dua orang yang berteman atau dua orang yang dekat hubungannya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ النِّكَاحِ


“Tidak terlihat hubungan yang demikian dekat di antara dua orang yang saling mencintai yang bisa menyamai hubungan yang terjalin karena pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1848, hadits ini dikuatkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dengan jalan yang lain, lihat Ash-Shahihah no. 624)


6. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan berkumpul dua insan guna bersama membina rumah tangga dan keluarga, di mana keluarga merupakan inti tegaknya masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. Si suami menjaga, mengarahkan dan membimbing istri serta anak-anaknya, dan ia bekerja untuk menafkahi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ


“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagain yang lain (wanita) dan juga karena kaum laki-laki telah menginfakkan sebagian dari harta-harta mereka.” (An-Nisa`: 34)


Sementara si istri mengatur rumahnya, mendidik anak-anaknya dan mengurusi perkara mereka. Dengan semua ini akan luruslah keadaan dan teraturlah segala urusan. (Al- Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274, Taudhihul Ahkam, 5/210)

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim


Rabu, 20 Juli 2011

Wanita,Cinta & Naluri Seks dalam tinjauan Islam

Wanita, Cinta dan Naluri Seks dalam Tinjauan IslamWanita, Cinta dan Naluri Seks dalam Tinjauan IslamWanita.
Oleh Abu Iram Al-Atsary

Realita yang ada pada generasi muda muslim pada masa sekarang ini, secara mayoritas sedang terbuai dengan ribuan jaring kemungkaran modernisasi, seperti perzinaan dengan berbagai modelnya, namun justru ia sering dijadikan standar kemajuan dan globalisasi. Seks yang merupakan fitrah dan karunia Allah Ta’ala berubah fungsi menjadi ajang komoditi mencari keuntungan sebesar mungkin.

 

Norma-norma yang berlaku di dalam tata kehidupan tidak lagi menjadi pegangan. Pupusnya rasa malu kaum Hawa terlihat pula dari turut andilnya mereka menanam saham kebatilan di bidang sandang…

Mode-mode pakaian yang dililitkan ke tubuhnya sudah begitu jauh dari tuntunan syari’at. Padahal Allah Ta’ala berfirman: “Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anakmu yang perempuan dan orang-orang perempuan yang beriman, supaya mereka menutup tubuhnya dengan

jilbab, yang demikian itu supaya mereka lebih dikenal, karena itu supaya mereka tidak diganggu, dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).

Bila ayat ini masih dianggap belenggu yang merantai kebebasan kaum Hawa, maka dapatlah dipastikan, hujan birahi pun tak kan terelakkan, hingga dengan mudahnya kita saksikan jutaan perempuan bergentayangan di jalan-jalan, dan mempersilakan auratnya disapu mata sembarang orang.

 

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat Imam Muslim bersabda, artinya: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium wangi Surga, padahal wangi Surga itu tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian.”

 

Sebab meskipun berpakaian, pada hakikatnya mereka telanjang. Ironinya, setiap hari kita selalu dihadapkan kepada permasalahan di atas, yaitu urusan kelamin (seksualitas). Kemana-mana kita terganggu oleh rayuan perempuan, wajahnya, lenggak-lenggoknya, suaranya, semuanya penuh magnit dan daya tarik.

 

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (Ali Imran: 14).

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya: “Tidaklah ada suatu cobaan yang terjadi sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki, yang melebihi bahayanya cobaan yang berhubungan dengan soal wanita”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqqin menyatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan tumbuhnya perasaan cinta, yaitu:

1. Sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang yang membuat ia dicintai oleh

kekasihnya.

2. Perhatian sang kekasih terhadap sifat-sifat tersebut.

3. Pertautan antara seseorang yang sedang jatuh cinta dengan orang yang dicintainya.

 

Dengan kelengkapan ketiga faktor cinta yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim tersebut, maka terbuktilah tali percintaan, dan akan menjadi lemah jika terdapat kekurangan dari ketiga faktor itu. Hal ini diakui oleh Islam dan oleh semua pihak yang menentang Islam. Tapi Islam membedakan antara cinta dan seks sebagai nafsu. Cinta adalah mawaddah wa rahmah, sedang nafsu seks sebagai naluri adalah

nafsu syahwat. Keduanya hanya bisa bersatu dalam perkawinan, karena berseminya cinta yang terjadi sesudah pernikahan adalah cinta yang dijamin oleh Allah Ta’ala, sebagaimana tercantum dalam surat Ar-Rum ayat 21, artinya: “Dan di antara tandatanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

 

Dari ayat di atas dapat kita simpulkan, bahwa Islam tidak mengenal percintaan sebelum perkawinan yang sah, apalagi dengan pengumbaran nafsu syahwat, sehingga menjadi naluri dan cenderung mengajak pada perbuatan-perbuatan yang mengundang murka Allah Ta’ala, sebagaimana telah termaktub dalam Surat Yusuf ayat 53, artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang

diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Ibnul Qayyim berkata: “Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”

 

“Bohong!”, itulah komentar sinis mereka guna membela nafsu syahwatnya, untuk melegimitasi percintaan secara haram. Bahkan lebih parah lagi, mereka berani bersumpah, cinta yang dilahirkan bersama sang kekasih adalah cinta suci, bukan cinta birahi dan syaithani.

 

Padahal yang dijaga dalam Islam bukanlah semata-mata perihal kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja, tetapi lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan, kaki dan sekujur anggota tubuh. Bahkan kesucian hati juga wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan bukan mahramnya, zinanya hati adalah membayangkan dan mengkhayal, dan zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan mahramnya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah ditulis atas anak Adam bagiannya dari hal zina yang akan ditemui dalam hidupnya, tidak bisa tidak. Zinanya mata adalah melihat, zinanya telinga adalah mendengar, zinanya kaki adalah berjalan, dan zinanya hati adalah keinginan dan berangan-angan, dan semua itu dibenarkan atau didustakan oleh kelaminnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

 

Namun jaring-jaring cinta di luar perkawinan telah meninabobokkan manusia dalam tali asmara. Asmara yang bergejolak menuntut keintiman dan kesyahduan, sehingga cinta buta menjadi mahar yang menghalalkan hubungan kelamin kisah kasih dua insan yang berlainan jenis. Untuk itu dalam menghadapi semua ini, hendaklah kita senantiasa berpedoman pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, di antaranya adalah:

 

A. Menjaga Pandangan Mata

Memelihara mata cukuplah dengan menundukkan pandangan bila ada pria atau wanita yang bukan mahramnya, dan jangan memandangnya berulang-ulang. Hal ini diatur oleh Allah dan RasulNya agar kita dapat mengendalikan mata sebagai panca indera yang sangat peka terhadap seks. Allah Ta’ala berfirman, artinya: “Katakan-lah kepada orang-orang yang beriman agar mereka menundukkan sebagian dari pandangan mata (terhadap wanita) dan memelihara kemaluan mereka. Yang

demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya.” (An-Nur: 30- 31).

 

Tapi ada pula memandang untuk suatu keperluan yang diperbolehkan, seperti dalam pengobatan, peminangan dan segala sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, artinya: “Dari Mughirah bin Syu’bah, bahwa ia hendak menikah dengan seorang wanita, Nabi bertanya, ‘Sudahkah kamu melihatnya?’, ‘Belum’, jawabnya, lalu Nabi bersabda, ‘Lihatlah ia, sesungguhnya dengan melihatnya lebih menenteramkan hati kamu berdua’.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).

 

B. Menjauhi Pergaulan Bebas

 

Pergaulan bebas pasti menimbulkan hal-hal negatif yang tidak diinginkan. Hal ini bisa dilihat di barat, yang meng-agungkan kebebasan dalam segala hal, termasuk dalam seks. Kini mereka menjerit, angka perceraian sangat tinggi, setiap menit terjadi tindak perkosaan dan pranata pernikahan diragukan, terjadilah dekadensi moral dan tersebar berbagai penyakit kelamin. Allah Ta’ala membuat rambu-rambu pergaulan laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dalam firmanNya:

“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32).



 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi mahramnya, karena yang menjadi pihak ketiganya adalah syaitan.” (HR. Ahmad).

 


Apalagi halnya sampai bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. A’isyah radiallahu anha berkata: “Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan di dalam bai’at, bai’at Rasulullah dengan mereka adalah berupa ucapan.” (HR. Al-Bukhari).
Oleh Abu Iram Al-Atsary

Realita yang ada pada generasi muda muslim pada masa sekarang ini, secara mayoritas sedang terbuai dengan ribuan jaring kemungkaran modernisasi, seperti perzinaan dengan berbagai modelnya, namun justru ia sering dijadikan standar kemajuan dan globalisasi. Seks yang merupakan fitrah dan karunia Allah Ta’ala berubah fungsi menjadi ajang komoditi mencari keuntungan sebesar mungkin.

 

Norma-norma yang berlaku di dalam tata kehidupan tidak lagi menjadi pegangan. Pupusnya rasa malu kaum Hawa terlihat pula dari turut andilnya mereka menanam saham kebatilan di bidang sandang…

Mode-mode pakaian yang dililitkan ke tubuhnya sudah begitu jauh dari tuntunan syari’at. Padahal Allah Ta’ala berfirman: “Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anakmu yang perempuan dan orang-orang perempuan yang beriman, supaya mereka menutup tubuhnya dengan

jilbab, yang demikian itu supaya mereka lebih dikenal, karena itu supaya mereka tidak diganggu, dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).

Bila ayat ini masih dianggap belenggu yang merantai kebebasan kaum Hawa, maka dapatlah dipastikan, hujan birahi pun tak kan terelakkan, hingga dengan mudahnya kita saksikan jutaan perempuan bergentayangan di jalan-jalan, dan mempersilakan auratnya disapu mata sembarang orang.

 

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat Imam Muslim bersabda, artinya: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium wangi Surga, padahal wangi Surga itu tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian.”

 

Sebab meskipun berpakaian, pada hakikatnya mereka telanjang. Ironinya, setiap hari kita selalu dihadapkan kepada permasalahan di atas, yaitu urusan kelamin (seksualitas). Kemana-mana kita terganggu oleh rayuan perempuan, wajahnya, lenggak-lenggoknya, suaranya, semuanya penuh magnit dan daya tarik.

 

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (Ali Imran: 14).

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya: “Tidaklah ada suatu cobaan yang terjadi sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki, yang melebihi bahayanya cobaan yang berhubungan dengan soal wanita”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqqin menyatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan tumbuhnya perasaan cinta, yaitu:

1. Sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang yang membuat ia dicintai oleh

kekasihnya.

2. Perhatian sang kekasih terhadap sifat-sifat tersebut.

3. Pertautan antara seseorang yang sedang jatuh cinta dengan orang yang dicintainya.

 

Dengan kelengkapan ketiga faktor cinta yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim tersebut, maka terbuktilah tali percintaan, dan akan menjadi lemah jika terdapat kekurangan dari ketiga faktor itu. Hal ini diakui oleh Islam dan oleh semua pihak yang menentang Islam. Tapi Islam membedakan antara cinta dan seks sebagai nafsu. Cinta adalah mawaddah wa rahmah, sedang nafsu seks sebagai naluri adalah

nafsu syahwat. Keduanya hanya bisa bersatu dalam perkawinan, karena berseminya cinta yang terjadi sesudah pernikahan adalah cinta yang dijamin oleh Allah Ta’ala, sebagaimana tercantum dalam surat Ar-Rum ayat 21, artinya: “Dan di antara tandatanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

 

Dari ayat di atas dapat kita simpulkan, bahwa Islam tidak mengenal percintaan sebelum perkawinan yang sah, apalagi dengan pengumbaran nafsu syahwat, sehingga menjadi naluri dan cenderung mengajak pada perbuatan-perbuatan yang mengundang murka Allah Ta’ala, sebagaimana telah termaktub dalam Surat Yusuf ayat 53, artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang

diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Ibnul Qayyim berkata: “Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”

 

“Bohong!”, itulah komentar sinis mereka guna membela nafsu syahwatnya, untuk melegimitasi percintaan secara haram. Bahkan lebih parah lagi, mereka berani bersumpah, cinta yang dilahirkan bersama sang kekasih adalah cinta suci, bukan cinta birahi dan syaithani.

 

Padahal yang dijaga dalam Islam bukanlah semata-mata perihal kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja, tetapi lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan, kaki dan sekujur anggota tubuh. Bahkan kesucian hati juga wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan bukan mahramnya, zinanya hati adalah membayangkan dan mengkhayal, dan zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan mahramnya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah ditulis atas anak Adam bagiannya dari hal zina yang akan ditemui dalam hidupnya, tidak bisa tidak. Zinanya mata adalah melihat, zinanya telinga adalah mendengar, zinanya kaki adalah berjalan, dan zinanya hati adalah keinginan dan berangan-angan, dan semua itu dibenarkan atau didustakan oleh kelaminnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

 

Namun jaring-jaring cinta di luar perkawinan telah meninabobokkan manusia dalam tali asmara. Asmara yang bergejolak menuntut keintiman dan kesyahduan, sehingga cinta buta menjadi mahar yang menghalalkan hubungan kelamin kisah kasih dua insan yang berlainan jenis. Untuk itu dalam menghadapi semua ini, hendaklah kita senantiasa berpedoman pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, di antaranya adalah:

 

A. Menjaga Pandangan Mata

Memelihara mata cukuplah dengan menundukkan pandangan bila ada pria atau wanita yang bukan mahramnya, dan jangan memandangnya berulang-ulang. Hal ini diatur oleh Allah dan RasulNya agar kita dapat mengendalikan mata sebagai panca indera yang sangat peka terhadap seks. Allah Ta’ala berfirman, artinya: “Katakan-lah kepada orang-orang yang beriman agar mereka menundukkan sebagian dari pandangan mata (terhadap wanita) dan memelihara kemaluan mereka. Yang

demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya.” (An-Nur: 30- 31).

 

Tapi ada pula memandang untuk suatu keperluan yang diperbolehkan, seperti dalam pengobatan, peminangan dan segala sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, artinya: “Dari Mughirah bin Syu’bah, bahwa ia hendak menikah dengan seorang wanita, Nabi bertanya, ‘Sudahkah kamu melihatnya?’, ‘Belum’, jawabnya, lalu Nabi bersabda, ‘Lihatlah ia, sesungguhnya dengan melihatnya lebih menenteramkan hati kamu berdua’.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).

 

B. Menjauhi Pergaulan Bebas

 

Pergaulan bebas pasti menimbulkan hal-hal negatif yang tidak diinginkan. Hal ini bisa dilihat di barat, yang meng-agungkan kebebasan dalam segala hal, termasuk dalam seks. Kini mereka menjerit, angka perceraian sangat tinggi, setiap menit terjadi tindak perkosaan dan pranata pernikahan diragukan, terjadilah dekadensi moral dan tersebar berbagai penyakit kelamin. Allah Ta’ala membuat rambu-rambu pergaulan laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dalam firmanNya:

“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32).

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi mahramnya, karena yang menjadi pihak ketiganya adalah syaitan.” (HR. Ahmad).

 

Apalagi halnya sampai bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. A’isyah radiallahu anha berkata: “Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan di dalam bai’at, bai’at Rasulullah dengan mereka adalah berupa ucapan.” (HR. Al-Bukhari).
Oleh Abu Iram Al-Atsary

Realita yang ada pada generasi muda muslim pada masa sekarang ini, secara mayoritas sedang terbuai dengan ribuan jaring kemungkaran modernisasi, seperti perzinaan dengan berbagai modelnya, namun justru ia sering dijadikan standar kemajuan dan globalisasi. Seks yang merupakan fitrah dan karunia Allah Ta’ala berubah fungsi menjadi ajang komoditi mencari keuntungan sebesar mungkin.

 

Norma-norma yang berlaku di dalam tata kehidupan tidak lagi menjadi pegangan. Pupusnya rasa malu kaum Hawa terlihat pula dari turut andilnya mereka menanam saham kebatilan di bidang sandang…

Mode-mode pakaian yang dililitkan ke tubuhnya sudah begitu jauh dari tuntunan syari’at. Padahal Allah Ta’ala berfirman: “Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anakmu yang perempuan dan orang-orang perempuan yang beriman, supaya mereka menutup tubuhnya dengan

jilbab, yang demikian itu supaya mereka lebih dikenal, karena itu supaya mereka tidak diganggu, dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).

Bila ayat ini masih dianggap belenggu yang merantai kebebasan kaum Hawa, maka dapatlah dipastikan, hujan birahi pun tak kan terelakkan, hingga dengan mudahnya kita saksikan jutaan perempuan bergentayangan di jalan-jalan, dan mempersilakan auratnya disapu mata sembarang orang.

 

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat Imam Muslim bersabda, artinya: “Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium wangi Surga, padahal wangi Surga itu tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian.”

 

Sebab meskipun berpakaian, pada hakikatnya mereka telanjang. Ironinya, setiap hari kita selalu dihadapkan kepada permasalahan di atas, yaitu urusan kelamin (seksualitas). Kemana-mana kita terganggu oleh rayuan perempuan, wajahnya, lenggak-lenggoknya, suaranya, semuanya penuh magnit dan daya tarik.

 

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” (Ali Imran: 14).

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, artinya: “Tidaklah ada suatu cobaan yang terjadi sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki, yang melebihi bahayanya cobaan yang berhubungan dengan soal wanita”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

 

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqqin menyatakan, ada tiga faktor yang menyebabkan tumbuhnya perasaan cinta, yaitu:

1. Sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang yang membuat ia dicintai oleh

kekasihnya.

2. Perhatian sang kekasih terhadap sifat-sifat tersebut.

3. Pertautan antara seseorang yang sedang jatuh cinta dengan orang yang dicintainya.

 

Dengan kelengkapan ketiga faktor cinta yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim tersebut, maka terbuktilah tali percintaan, dan akan menjadi lemah jika terdapat kekurangan dari ketiga faktor itu. Hal ini diakui oleh Islam dan oleh semua pihak yang menentang Islam. Tapi Islam membedakan antara cinta dan seks sebagai nafsu. Cinta adalah mawaddah wa rahmah, sedang nafsu seks sebagai naluri adalah

nafsu syahwat. Keduanya hanya bisa bersatu dalam perkawinan, karena berseminya cinta yang terjadi sesudah pernikahan adalah cinta yang dijamin oleh Allah Ta’ala, sebagaimana tercantum dalam surat Ar-Rum ayat 21, artinya: “Dan di antara tandatanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

 

Dari ayat di atas dapat kita simpulkan, bahwa Islam tidak mengenal percintaan sebelum perkawinan yang sah, apalagi dengan pengumbaran nafsu syahwat, sehingga menjadi naluri dan cenderung mengajak pada perbuatan-perbuatan yang mengundang murka Allah Ta’ala, sebagaimana telah termaktub dalam Surat Yusuf ayat 53, artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang

diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Ibnul Qayyim berkata: “Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”

 

“Bohong!”, itulah komentar sinis mereka guna membela nafsu syahwatnya, untuk melegimitasi percintaan secara haram. Bahkan lebih parah lagi, mereka berani bersumpah, cinta yang dilahirkan bersama sang kekasih adalah cinta suci, bukan cinta birahi dan syaithani.

 

Padahal yang dijaga dalam Islam bukanlah semata-mata perihal kepemudaan, kegadisan dan selaput dara saja, tetapi lebih dari itu, kesucian mata, telinga, hidung, tangan, kaki dan sekujur anggota tubuh. Bahkan kesucian hati juga wajib dijaga. Zinanya mata adalah berpandangan dengan bukan mahramnya, zinanya hati adalah membayangkan dan mengkhayal, dan zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan mahramnya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah ditulis atas anak Adam bagiannya dari hal zina yang akan ditemui dalam hidupnya, tidak bisa tidak. Zinanya mata adalah melihat, zinanya telinga adalah mendengar, zinanya kaki adalah berjalan, dan zinanya hati adalah keinginan dan berangan-angan, dan semua itu dibenarkan atau didustakan oleh kelaminnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

 

Namun jaring-jaring cinta di luar perkawinan telah meninabobokkan manusia dalam tali asmara. Asmara yang bergejolak menuntut keintiman dan kesyahduan, sehingga cinta buta menjadi mahar yang menghalalkan hubungan kelamin kisah kasih dua insan yang berlainan jenis. Untuk itu dalam menghadapi semua ini, hendaklah kita senantiasa berpedoman pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, di antaranya adalah:

 

A. Menjaga Pandangan Mata

Memelihara mata cukuplah dengan menundukkan pandangan bila ada pria atau wanita yang bukan mahramnya, dan jangan memandangnya berulang-ulang. Hal ini diatur oleh Allah dan RasulNya agar kita dapat mengendalikan mata sebagai panca indera yang sangat peka terhadap seks. Allah Ta’ala berfirman, artinya: “Katakan-lah kepada orang-orang yang beriman agar mereka menundukkan sebagian dari pandangan mata (terhadap wanita) dan memelihara kemaluan mereka. Yang

demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya.” (An-Nur: 30- 31).

 

Tapi ada pula memandang untuk suatu keperluan yang diperbolehkan, seperti dalam pengobatan, peminangan dan segala sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, artinya: “Dari Mughirah bin Syu’bah, bahwa ia hendak menikah dengan seorang wanita, Nabi bertanya, ‘Sudahkah kamu melihatnya?’, ‘Belum’, jawabnya, lalu Nabi bersabda, ‘Lihatlah ia, sesungguhnya dengan melihatnya lebih menenteramkan hati kamu berdua’.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).

 

B. Menjauhi Pergaulan Bebas

 

Pergaulan bebas pasti menimbulkan hal-hal negatif yang tidak diinginkan. Hal ini bisa dilihat di barat, yang meng-agungkan kebebasan dalam segala hal, termasuk dalam seks. Kini mereka menjerit, angka perceraian sangat tinggi, setiap menit terjadi tindak perkosaan dan pranata pernikahan diragukan, terjadilah dekadensi moral dan tersebar berbagai penyakit kelamin. Allah Ta’ala membuat rambu-rambu pergaulan laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dalam firmanNya:

“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32).

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi mahramnya, karena yang menjadi pihak ketiganya adalah syaitan.” (HR. Ahmad).

 

Apalagi halnya sampai bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. A’isyah radiallahu anha berkata: “Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan di dalam bai’at, bai’at Rasulullah dengan mereka adalah berupa ucapan.” (HR. Al-Bukhari).


Minggu, 17 Juli 2011

Bid'ah Sesat

Sebagian  bidah itu sesat ? 

 

Menurut pemahaman saya dari artikel KH Bisri Musthofa kalimat tsb di artikan  sebagian bid`ah sesat  dan ada bid`ah hasanah .

Anehnya  tiada  hadis yang menyatakan bahwa adanya bid`ah hasanah dan dalam al quran pun tidak di jumpai bid`ah hasanah . Kalau  kull bid`ah dholalah di artikan hanya sebagian bid`ah yang sesat , lalu apakah juga berlaku  terhadap hadis sbb :

. مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan agama yang tidak terdapat dalam agama maka dengan sendirinya tertolak *    Muttafaq alaih  dari Aisyah 

Bertentangan pula dsengan hadis :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ *
Barang siapa yang menjalankan sesuatu yang tidak cocok dengan urusan kami maka tertolak .  

Apakah masih anda  katakan sebagian bid`ah saja yang tertolak dan sebagian bid`ah lagi  di terima bahkan di anjurkan . Lalu mana dalilnya  ada  bid`ah yang di terima  atau  di anjurkan ? Dalam al quran  hanyalah ada perintah ittiba sebagaimana  ayat :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[1]

Di ayat lain di jelaskan :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوُلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh As-Sa’di : “Contoh yang baik adalah Rasulullah r. Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah I.
Inilah jalan yang lurus.”
Al-Imam Al-Barbahari : “Ketahuilah –semoga Allah I merahmatimu–, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)


Berlakulah Jujur

\
jujur_dalam_bisnis Perilaku jujur adalah perilaku yang teramat mulia. Namun di zaman sekarang ini, perilaku ini amat sulit kita temukan. Lihat saja bagaimana kita jumpai di kantoran, di pasaran, di berbagai lingkungan kerja, perilaku jujur ini hampir saja usang. Lihatlah di negeri ini pengurusan birokrasi yang seringkali dipersulit dengan kedustaan sana-sini, yang ujung-ujungnya bisa mudah jika ada uang pelicin. Lihat pula bagaimana di pasaran, para pedagang banyak bersumpah untuk melariskan barang dagangannya dengan promosi yang penuh kebohongan. Pentingnya berlaku jujur, itulah yang akan penulis utarakan dalam tulisan sederhana ini. Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan apa yang ada dalam hati. Jujur juga secara bahasa dapat berarti perkataan yang sesuai dengan realita dan hakikat sebenarnya. Kebalikan jujur itulah yang disebut dusta.
Perintah untuk Berlaku Jujur
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Dalam hadits dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.[1]
Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.[2] Jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa.
Perintah Jujur bagi Para Pelaku Bisnis
Terkhusus lagi, terdapat perintah khusus untuk jujur bagi para pelaku bisnis karena memang kebiasaan mereka adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi melariskan barang dagangan.
Dari Rifa'ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.[3]
Begitu sering kita melihat para pedagang berkata, “Barang ini dijamin paling murah. Jika tidak percaya, silakan bandingkan dengan yang lainnya.” Padahal sebenarnya, di toko lain masih lebih murah dagangannya dari pedagang tersebut. Cobalah lihat ketidakjujuran kebanyakan pedagang saat ini. Tidak mau berterus terang apa adanya.
Keberkahan dari Sikap Jujur
Jika kita merenungkan, perilaku jujur sebenarnya mudah menuai berbagai keberkahan. Yang dimaksud keberkahan adalah tetap dan bertambahnya kebaikan. Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا - أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا - فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.[4]
Di antara keberkahan sikap jujur ini akan memudahkan kita mendapatkan berbagai jalan keluar dan kelapangan. Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat At Taubah ayat 119. Beliau mengatakan, “Berlaku jujurlah dan terus berpeganglah dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur. Jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga kalian mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.”[5]
Akibat Berperilaku Dusta
Dusta adalah dosa dan ‘aib yang amat buruk. Di samping berbagai dalil dari Al Qur’an dan dan berbagai hadits, umat Islam bersepakat bahwa berdusta itu haram. Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khinat terhadap amanah.[6]
Dari berbagai hadits terlihat jelas bahwa sikap jujur dapat membawa pada keselamatan, sedangkan sikap dusta membawa pada jurang kehancuran. Di antara kehancuran yang diperoleh adalah ketika di akhirat kelak. Kita dapat menyaksikan pada hadits berikut,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : الْمَنَّانُ, الْمُسْبِلُ إِزَارَهُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلَفِ الْكَاذِبِ
“Tiga (golongan) yang Allah tidak berbicara kepada mereka pada hari Kiamat, tidak melihat kepada mereka, tidak mensucikan mereka dan mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih, yaitu: orang yang sering mengungkit pemberiannya kepada orang, orang yang menurunkan celananya melebihi mata kaki  dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah dusta.”[7]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu mencela orang yang tidak transparan dengan menyembunyikan ‘aib barang dagangan ketika berdagang. Coba perhatikan kisah dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" Sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami."[8] Jika dikatakan bukan termasuk golongan kami, berarti dosa menipu bukanlah dosa yang biasa-biasa saja.
Jujur Sama Sekali Tidak Membuat Rugi
Inilah pentingnya berlaku jujur dalam segala hal, terkhusus lagi dalam hal muamalah atau berbisnis. Dalam berbisnis hal ini begitu urgent. Karena begitu banyak orang yang loyal pada suatu penjual karena sikapnya yang jujur. Namun sikap jujur ini seakan-akan mulai punah. Padahal sudah sering kita dengar perilaku jujur dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan ulama salafush sholeh lainnya. Mereka semua begitu semangat dalam memelihara akhlak yang mulia ini. Walaupun ujung-ujungnya, bisa jadi mereka merugi karena begitu terus terang dan terlalu jujur.
Bandingkan dengan perangai jelek sebagian pelaku bisnis saat ini. Coba saja lihat secara sederhana pada penjual dan pembeli yang melakukan transaksi. “Mas, HP yang saya jual ini masih awet lima tahun lagi,” ucapan seseorang ketika menawarkan HP pada saudaranya. Padahal yang sebenarnya, HP tersebut sudah jatuh sampai sepuluh kali dan seringkali diservis. Perilaku tidak jujur ini pula seringkali kita saksikan dalam transaksi online (semacam pada toko online). Awalnya barang yang dipajang di situs, sungguh menawan dan membuat orang interest, tertarik untuk membelinya. Tak tahunya, apa yang dipajang berbeda jauh dengan apa yang sampai di tangan pembeli.
Pahamilah wahai saudaraku! Jika pelaku bisnis mau berlaku jujur ketika berbisnis, mau menerangkan ‘aib barang yang dijual, tidak sengaja menyembunyikannya, sungguh keberkahan akan selalu hadir. Walaupun mungkin keuntungan secara material tidak diperoleh karena saking jujurnya, namun keuntungan secara non material itu akan diperoleh. Karena jujur, sungguh akan membuahkan pahala begitu besar. Yakinlah bahwa keuntungan tidak semata-mata berupa uang atau material. Pahala besar di sisi Allah, itu pun suatu keuntungan. Bahkan pahala di sisi-Nya, inilah keuntungan yang luar biasa. Sungguh, nikmat dunia dibanding dengan nikmat akhirat berupa pahala di sisi Allah amat jauh sekali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَوْضِعُ سَوْطٍ فِى الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Satu bagian kecil nikmat di surga lebih baik dari dunia dan seisinya.”[9]
Ya Allah, mudahkanlah hamba-Mu untuk selalu memiliki akhlak yang mulia ini, selalu berlaku jujur dalam segala hal. Hanya Allah yang beri taufik.
Selesai disusun ba’da Maghrib, 12 Syawal 1431 H (20/09/2010) di Panggang-Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com


[1] HR. Muslim no. 2607.
[2] HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. Tirmidzi no. 1210 dan Ibnu Majah no. 2146. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib 1785 mengatakan bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).
[4] HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532
[5] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Al Qurthubah, 7/313
[6] HR Bukhari no. 2682 dan Muslim no. 59, dari Abu Hurairah.
[7] HR. Muslim no. 106, dari Abu Dzar.
[8] HR. Muslim no. 102.
[9] HR. Bukhari no. 3250, dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi